Oleh: Rianti Budi Anggara
(Sahabat Tanah Ribath Media)
Reshuffle kabinet kembali menjadi sorotan. Pergantian kursi menteri dalam demokrasi memang wajar, tetapi bagi umat Islam, langkah politik ini harus dipandang lebih bijak apakah reshuffle benar-benar amanah untuk rakyat, atau sekadar strategi mempertahankan stabilitas politik sebagai sebuah panggung di balik bangku pemerintahan?
Fakta mencatat, kurang dari satu tahun pemerintahannya, Presiden Prabowo bersama Wakil Presiden Gibran telah melakukan tiga kali reshuffle kabinet Merah Putih. Pergantian cepat ini menunjukkan betapa kursi jabatan kerap dimainkan dalam logika politik, ini bukan sekadar kursi kekuasaan yang dengan mudahnya diperdagangkan atau dibagi-bagi berdasarkan kepentingan segolongan kelompok dan kepentingan tertentu. Jabatan sejatinya adalah amanah besar untuk mengurus rakyat dengan adil dan penuh tanggung jawab di hadapan Allah Swt.
Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa seorang 'Pemimpin' baik dari tingkat terendah sampai tertinggi, baik itu pemimpin dalam keluarganya, kelompok masyarakat, bahkan setingkat dengan menteri, gubernur, bahkan presiden bukanlah sekadar pejabat publik semuta, melainkan pemimpin yang harus mengurusi, mengayomi, melindungi bahkan menjamin kehidupan rakyat dengan sebaik-baiknya.
Sayangnya, dalam praktik politik hari ini, jabatan sering dipandang sebagai komoditas semata, dianggap sebagai sesuatu yang bisa dinegosiasikan, ditukar, bahkan dijadikan alat kompromi politik. Sehingga seringkali berakibat pada makna 'amanah' bergeser hingga terganti menjadi kepentingan pragmatis belaka.
Allah Swt. sudah memberi peringatan tegas dalam firman-Nya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil.” (TQS. An-Nisa: 58)
Ayat ini seharusnya menjadi pedoman utama dalam pengisian jabatan negara. Amanah harus diberikan kepada yang berhak, yaitu mereka yang memiliki kapasitas, ketakwaan, dan keberanian menegakkan keadilan. Terlebih lagi, terlihat jelas di media bahwa para pejabat yang dilantik selalu bersumpah dengan Al-Qur’an di hadapan rakyat dan Allah sebagai saksi. Sumpah itu bukan sekadar seremonial semata, melainkan sebuah janji agung kepada Allah Swt. pemilik kekuasaan alam semesta beserta isinya. Ini yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban walaupun hanya sebesar biji zarrah. Maka, bagaimana mungkin sumpah yang diucapkan atas nama kitab suci dijalankan hanya sebagai formalitas, sementara amanah jabatan justru diperlakukan sebagai komoditas politik semata?
Bahaya Politik Bagi-Bagi Jabatan
Fenomena reshuffle sejatinya bukan hal baru dalam politik Indonesia. Seperti yang telah dicatat oleh Dr. Gun Gun Heryanto, isu perombakan kabinet kerap menjadi “gelembung politik” yang lahir dari kekecewaan presiden terhadap kinerja menteri, evaluasi tahunan, hingga tarik-menarik relasi kuasa partai politik di dalamnya. Sayangnya, momentum reshuffle sering lebih kental dengan aroma akomodasi politik ketimbang upaya serius memperbaiki kinerja pemerintahan.
Ketika jabatan diberikan hanya demi kepentingan politik atau bahkan kepentingan segelintir kelompok tanpa melihat kemaslahatan rakyat, yang akan terlahir adalah kebijakan yang lemah, tidak berpihak kepada rakyat, bahkan bisa membuka peluang korupsi dan penyalahgunaan wewenang di dalamnya.
Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan: “Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.” (HR. Bukhari)
Hadis ini relevan dengan realitas kita hari ini. Jika jabatan menteri dipilih hanya karena kedekatan politik, bukan karena keahlian dan integritas, maka jangan heran bila banyak kebijakan gagal menyelesaikan persoalan rakyat yang ditimpahkan amanat di pundak para pejabat.
Inilah bahaya terbesar politik bagi-bagi jabatan bukan hanya merusak tatanan pemerintahan, tetapi juga mengkhianati amanah rakyat yang seharusnya dijaga serta melanggar sumpah di hadapan kepada Allah Swt. Jika hal ini terus dipelihara, maka yang hancur bukan sekadar kebijakan, melainkan masa depan bangsa itu sendiri.
Reshuffle kabinet sebenarnya bisa menjadi momentum untuk memperbaiki arah kepemimpinan suatu negara, bahkan di dalam Islam telah mengatur di dalamnya terdapat prinsip-prinsip kepemimpinan:
1. Amanah sebagai landasan. Jabatan bukan warisan, bukan dagangan, tapi titipan Allah.
2. Keadilan sebagai ruh kepemimpinan. Pemimpin harus menegakkan hukum tanpa pandang bulu, sebagaimana firman Allah Swt.
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar menegakkan keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri, orang tua, atau kerabatmu.” (TQS. An-Nisa: 135)
3. Syariat sebagai pedoman. Sistem Islam memastikan setiap kebijakan diarahkan pada kemaslahatan umat, bukan kepentingan segelintir elite politik.
Dengan prinsip ini, reshuffle tidak lagi dipandang sebagai strategi politik pragmatis oleh sebagian masyarakat, melainkan sebagai upaya serius memastikan amanah berada di tangan yang benar.
Para menteri dan pejabat negara harus sadar bahwa kursi mereka bukan fasilitas, melainkan tanggung jawab besar di hadapan Allah. Setiap kebijakan harus lahir dari keikhlasan dan keberanian, bukan dari tekanan politik. Dengan begitu, akan lahir pemimpin-pemimpin yang rendah hati, tegas, dan tulus mengabdi demi kemaslahatan rakyat dan kejayaan bangsa. Namun, sekalipun demikian, semua hal tersebut tidak akan mengantarkan pada kemuliaan di sisi Allah kecuali dilaksanakan dalam sistem yang berasal dari Allah, yaitu sistem pemerintahan yang berlandaskan pada Islam pada semua lini.
Artikel ini telah ditayangkan:
https://www.tanahribathmedia.com/2025/09/reshuffle-kabinet-jabatan-adalah-amanah.html
0Komentar