Oleh: L. Nur Salamah
(Tim Redaksi Bumi Gurindam Bersyariah)
"Lo lo lo... kenopo iki yo? Kok motor e goyang-goyang? Jangan-jangan ban e kempes," ucapku sembari menepi. (Lo, lo, Lo kenapa ini? Motornya seperti bergoyang. Jangan-jangan ban motornya kempes).
"Mudun sik, Mbak Bro! Coba delok, ban e kempes ra?"perintah ku kepada adik iparku yang selalu menyertaiku ke mana pun kaki ini melangkah.
(Turunlah Mbak Bro! Coba dilihat, bannya kempes tidak?)
"Iyo kempes," jawabnya dengan muka datar.
(Iya kempes)
"Iya Bunda, ban motornya kempes. Pecah Bunda," teriakan Mas Haris, yang tidak lain adalah putra pertama anak keempat ku.
Bak dihantam palu godam. Darahku seolah berhenti mengalir. Jantungku seakan berhenti berdetak. Panik. Hari itu, Jum'at (19/09/2025) adalah agenda rutinku mengikuti kelas Bahasa Arab Kitab Durusul Lughoh, asuhan Ustazah Endang Ummu Zahro, di Markas Ummu Sulaim, Perumahan. Cemara Asri.
Cuaca cukup panas. Aku yang terbiasa ke mana-mana dengan disertai krucil, jelas situasi itu membuatku tak bisa berpikir. Belum lagi tak memegang uang kecuali sebatas untuk pegangan barangkali bocah-bocah minta jajan.
Sejauh mata memandang, belum kudapati tukang tambal ban berada.
"Waduh, gimana ini? Di mana ada tukang tambal ban? Kasihan pula bocah-bocah ini. Sebentar lagi jam 11.00 Lubna pulang, siapa yang nak jemput," hatiku terus bermonolog.
Aku ajak anak-anakku berteduh sejenak sambil berpikir. Masih buntu. Tak tahu harus berbuat apa. Mencoba menghubungi suami, ternyata enggak direspon. Yang membuat sedikit repot, ini HP 1 dipakai berdua. HP ada di tangan ku. Sedang suami kerja dengan WA web. Jadi tak bisa menelepon. Hanya bisa chat tertulis ke nomor sendiri.
Mencoba kembali melanjutkan langkah. Sampai jumpa pohon besar. Berhenti kami di bawah pohon rindang tersebut. Sembari mencoba menghubungi suami pakai nomor kawannya. Ternyata nihil.
Di tengah kebuntuan, ada setitik harapan. Di seberang pohon itu terlihat ada tumpukan ban, sepertinya itu tukang tambal ban. Sambil berpikir gimana caranya untuk bisa menyeberang.
"Adik, di sini dulu sama Mas ya. Biar Bunda tanya sama Oom itu. Bisa tidak motor kita di perbaiki. Nanti kita enggak bisa pulang lo Dik," pintaku ke anak bungsuku.
Harapan tak seindah kenyataan. Rupanya bocah enggak bisa juga dibujuk. Tetap harus ikut Emaknya. Payah. Bocah umur tiga tahun ini harus digendong. Karena enggak mungkin disuruh jalan atau dituntun. Apalagi kondisi jalan yang padat kendaraan.
Hampir 10 menit aku berdiri dengan menggendong putra kedua, anak kelima ku itu untuk menyeberangi jalan raya tersebut.
Namun tak juga membuahkan hasil. Kabar baik dari suami belum juga aku dapati. Tak terasa air mata ini hampir tumpah. Sekuat tenaga aku tahankan agar tetap terlihat kuat di depan bocah-bocah. Angan ku pun melayang. Memikirkan putriku yang sudah saatnya dijemput. Hendak menghubungi Ustazah nya pun tak ada nomor.
"Kenapa Mbak?" suara itu menghentikan langkah gontaiku.
"Ban ku pecah. Ini mau ke depan itu enggak bisa nyebrang. Tapi entahlah bisa tidak diperbaiki. Maksud ku yang penting bisa pulang dulu. Karena kalau harus ganti ban, tak ada aku pegang duit. Pak Ahmad enggak bisa dihubungi," jawaban panjang lebar aku berikan kepada Ummu Habil yang tidak lain adalah teman sekelas Bahasa Arab. Pernah berada di atap yang sama yakni saat menjadi staf pengajar di Yayasan Pondok Pesantren Hidayatullah Batam. Pernah bertetangga juga saat tinggal di Rusunawa Fanindo Batu Aji.
"Alhamdulillah ya Allah... Engkau tidak pernah membiarkan aku sendirian," gumamku dalam hati yang dipenuhi rasa syukur. Selangkah lebih tenang. Karena Ummu Habil bersama suaminya. Meskipun belum tahu harus berbuat apa, setidaknya kehadiran kaum Adam yang memang di setting sebagai pelindung ini membuat hati lebih tenang.
Sambil berpikir mencari cara, Ummu Habil meletakkan kuda besinya di tepi jalan yang dirasa cukup aman dan nyaman. Kemudian ia berdiskusi dengan suaminya untuk membawa motorku mencari tempat tambal ban.
Deal, suaminya yang pergi membawa motorku untuk diperbaiki. Aku ada uang 80.000 Ummu Habil 200.000.
"Aku pinjam dulu ya Nen, insya Allah nanti diganti sama Pak Ahmad. Semoga cukup lah ya," ucapku di hadapan Ummu Habil yang sejak kenal aku memanggilnya 'Neni'. Nama lengkapnya Sunaini.
Neni mengambil mantel di dalam jok motornya, dibentangkan di bawah pohon untuk kami duduk ber-enam. Bercerita panjang kali lebar seputar aktivitas dakwah dan rutinitas harian. Merenungkan peristiwa yang baru saja terjadi.
"Ya Allah Nen. Untung kamu datang. Allah mengirimmu untuk menolongku," ujarku dengan menggelengkan kepala seolah tak percaya.
"Itu lah Mbak. Apo lah yang mambarik an hati ka mari? Tadi tuch mampir ka SP mau cari sayur. Ndak jadi mambali sayur. Aku bilang ayahnya ka Aviari se lah. Padahal patang lah belanja. Ternyata jumpa Mbak di siko. DI balik musibah ada cerita indah yo Mbak," katanya dengan bahasa khas Minang. (Apa yang memberangkatkan hati ke mari? Tadi itu mampir ke SP mau cari sayur. Nggak jadi. Terus saya bilang ke ayahnya belanjanya ke Aviari saja. Padahal kemarin sudah belanja. Ternyata jumpa Mbak di sini. Di balik musibah ada cerita indah ya Mbak).
Kemudian kami habiskan waktu sambil menunggu motor selesai dengan bercerita, saling memotivasi, saling menguatkan dan mendoakan agar tetap Istikamah dalam barisan perjuangan dan dakwah ini.
Selesai.
0Komentar