Oleh: Nai Ummu Maryam
(Aktivis Muslimah Kepulauan Riau)
Kapitalisme merupakan sistem rusak dan merusak. Kapitalisme tumbuh subur dengan menjadikan harta sebagai tolok ukur sebuah kebahagian. Definisi kebahagiaan dan kesuksesan digambarkan dengan kemewahan di antaranya memiliki rumah yang bagus, kendaraan yang gagah, perhiasan yang cantik hingga barang-barang bergengsi. Alhasil, banyak orang yang bekerja keras mati-matian untuk mendapatkan itu semua dan demi "validasi" atau diakui sebagai orang yang sukses di tengah-tengah masyarakat.
Pada akhirnya tolok ukur kebahagiaan yang semu seperti ini menyeret banyak orang untuk menghabiskan waktu, tenaga, dan pikirannya hanya demi kebahagiaan yang sifatnya hanya sementara saja. Dalam pandangan Islam sendiri, bekerja dengan giat dan semangat menjadi sebuah keharusan, namun
kita juga harus memahami setiap pekerjaan yang kita kerjakan haruslah diiringi dengan ketaatan kepada Allah Swt. dan tetap menjadikan ibadah sebagai prioritas utama.
Tidak lalai dalam urusan agama dan dakwah, tidak juga disibukkan untuk menyenangkan hati atasan saja namun kita juga wajib menyenangkan hati Sang Maha Pemberi Rezeki sebagai bentuk syukur kita kepada-Nya. Ada pun harta yang telah terkumpul adalah sarana dan jalan menuju ketaatan bukan untuk sebuah pengakuan status sosial di masyarakat.
Di sisi lain, kapitalisme mengubah gaya hidup masyarakat yang awalnya sederhana kini berubah menjadi gaya hidup konsumtif dan hedonisme. Seperti pribahasa yang begitu populer, "Besar pasak dari pada tiang." Besar pengeluaran dari pada pemasukan. Gaya hidup yang konsumtif dan hedonisme ini telah menggiring banyak orang untuk mudah terjerat dalam utang ribawi dalam bentuk KPR, kartu kredit, cicilan leasing, pay later hingga pinjam online.
Mirisnya lagi semua produk pinjaman berbasis riba ini difasilitasi oleh negara sehingga masyarakat mengganggap bahwa riba adalah hal yang lumrah. Padahal, dalam pandangan Islam, riba adalah dosa besar dan bentuk kezaliman yang pelakunya berani berperang melawan Allah dan Rasul-Nya.
Na'uzubillahiminzalik.
Sebagaimana firman Allah Swt. yang artinya:
"Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah, bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu. Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilam riba) maka bagimu pokok hartamu, kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya." (QS. Al-Baqarah: 279)
Dari ayat ini kita bisa mengambil hikmah dan pesan cinta dari Allah Swt. bahwa riba mendatangkan banyak kerusakan, kezaliman dan kesengsaraan. Kita harus menyadari bahwa sistem kapitalisme yang bertengger saat ini harus diganti dengan sistem Islam yang mampu mengubah pola pikir dan perbuatan individu, masyarakat dan negara berjalan sesuai dengan koridor syariat Islam.
Maka, sebagai seorang muslim hendaknya kita menyadari bahwa tolok ukur kebahagiaan adalah rida-Nya Allah Swt. Jadi kita tidak perlu berlelah-lelah hanya demi validasi atau pengakuan dari manusia. Cukup jadikan Allah dan syariat Islam sebagai prioritas utama dalam mengarungi luasnya samudera kehidupan. Wallahualam
Batam, 6 Oktober 2025
Artikel ini telah ditayangkan di:
Media Cetak - Media Umat Edisi 391


0Komentar