GUr8TUW5BUW5TUC0TSz5GUY6

Headline:

Diplomasi di Tengah Luka: Gerbang Internasional atau Tutup Mata?

Diplomasi di Tengah Luka: Gerbang Internasional atau Tutup Mata?


Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Aktivis Muslimah Kepulauan Riau)

Di tengah konflik kemanusiaan yang masih berkecamuk di Gaza, publik tanah air dikejutkan oleh sebuah peristiwa diplomatik di tingkat daerah. Gubernur Kepulauan Riau (Kepri), Ansar Ahmad, menerima kunjungan Konsul Amerika Serikat untuk Sumatera, Lisa Podolny, dalam sebuah welcome reception di Harbourbay, Batam. Pertemuan tersebut disebut sebagai upaya memperkuat kerja sama antara Kepri dan Amerika Serikat di bidang investasi, perdagangan, pendidikan, pariwisata, dan kebudayaan.

Ansar menegaskan bahwa Kepri adalah gerbang internasional strategis dengan potensi ekonomi dan pariwisata besar. Karena itu, kerja sama dengan AS dianggap dapat membuka peluang baru bagi pembangunan daerah. Acara ini juga dipandang sebagai bentuk diplomasi informal untuk menjaga ikatan baik antara Kepri dan AS (Hariankepri.com, 26-9-2025).

Sekilas, berita ini tampak biasa atau hanya dipandang sekadar aktivitas rutin pejabat daerah yang menjalin hubungan dengan perwakilan negara lain. Namun, jika dilihat dalam konteks global, hal ini terasa ironis. Di satu sisi, publik Indonesia tengah gencar menyuarakan dukungan kemerdekaan untuk Palestina yang diserang habis-habisan oleh penjajah Israel. Akan tetapi, di sisi lain, Amerika Serikat sebagai sekutu utama Israel justru sedang menjalin komunikasi hangat dengan pejabat daerah di Indonesia.

Lipstik Politik di Tengah Luka

Di sinilah letak kontradiksi yang mencolok. Dalam sistem kapitalisme global, boikot dan kecaman terhadap Israel maupun AS kerap kali hanya menjadi lipstik politik. Para penguasa negeri Muslim, meski secara naluriah mengecam tindakan Israel, namun sayangnya tetap tunduk pada kepentingan hubungan diplomatik dan ekonomi dengan AS. Prinsip utamanya sederhana, yakni selama kerja sama itu menguntungkan, maka hubungan tetap dipertahankan, apa pun resikonya. Tak peduli jika harus melanggar pembukaan undang-undang dasar 1945 yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa dan penjajahan tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Hal ini membuat publik merasa ada gap yang besar antara suara umat dengan sikap penguasa. Masyarakat berteriak lantang mendukung Palestina, bahkan melakukan aksi solidaritas di jalanan. Namun, para penguasa negeri Muslim justru memilih tetap menjalin hubungan baik dengan negara yang secara terbuka mendukung penjajahan Israel.

Ironi ini semakin diperparah oleh sekat nasionalisme yang membatasi umat Islam di tiap negara. Para penguasa negeri Muslim seakan terkunci dalam batas teritorial masing-masing, sibuk menjaga kepentingan nasional, sementara penderitaan saudara seiman di Gaza tak segera mendapatkan pertolongan nyata.

Solusi Sistemik untuk Palestina

Situasi ini menunjukkan bahwa problemnya bukan sekadar pada individu pejabat atau pemerintah daerah tertentu, melainkan pada sistem politik yang berlaku. Kapitalisme menuntut pragmatisme, yakni hubungan dengan AS atau negara besar lain dijaga selama ada manfaat ekonomi. Sementara itu, solidaritas kemanusiaan dan7 ukhuwah Islamiyah hanya dijadikan retorika.

Dalam kondisi seperti ini, solusi yang ditawarkan bukanlah sekadar menambah seruan atau kecaman. Umat Islam dan para penguasa negeri Muslim perlu bangkit dan bersatu untuk menghadirkan kembali sebuah kepemimpinan global yang mampu menjadi perisai umat. Sejarah mencatat, hanya Khilafah yang mampu mengorganisir kekuatan kaum Muslim dalam satu komando, menggerakkan sumber daya politik, ekonomi, dan militer untuk membela kehormatan umat.

Dengan adanya seorang Khalifah, jihad dapat tersusun rapi di bawah kepemimpinan yang sah, bukan inisiatif kelompok atau individu. Inilah yang diyakini mampu membebaskan Palestina dari cengkeraman penjajahan Israel, sekaligus menegakkan kembali kedaulatan umat Islam secara menyeluruh.

Pertemuan Ansar Ahmad dengan Konsul AS di Batam mungkin terlihat sebagai langkah diplomasi biasa, namun dalam konteks tragedi Gaza, ia menjadi cermin betapa jauh jarak antara kepentingan politik pragmatis dengan penderitaan kemanusiaan. Selama sistem kapitalisme menjadi panglima, diplomasi semacam ini akan terus berlangsung, meski diiringi teriakan solidaritas dari umat.

Kini, pertanyaan yang tersisa adalah: sampai kapan umat Islam membiarkan penguasanya sibuk menutup mata di depan luka Gaza? Jawabannya ada pada kebangkitan umat untuk mengembalikan Khilafah sebagai perisai sejati yang dapat menyatukan barisan dan mengakhiri tragedi yang terus menimpa Palestina.

Artikel ini telah ditayangkan:
https://www.tanahribathmedia.com/2025/10/diplomasi-di-tengah-luka-gerbang.html
Daftar Isi

0Komentar

Follow Pasang Iklan
Follow Pasang Iklan
D

disclaimer: Bumigurindambersyariah.com memberikan ruang bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan yang khas memenangkan opini Islam serta memihak kepada kaum Muslim.

Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain.

Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Bumigurindambersyariah.com. Silakan mengirimkan tulisan Anda melalui link ini kirim Tulisan

KLIK

Support Dakwah Bumigurindambersyariah.com

Donasi akan mendanai biaya perpanjangan domain dan aktivitas dakwahnya.

Formulir
Tautan berhasil disalin