Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Aktivis Muslimah Kepulauan Riau)
Banyak kasus mengerikan mengguncang publik belakangan ini. Satu di antaranya adalah penemuan tengkorak dan tulang-belulang di Pulau Noran, Kepulauan Anambas. Nelayan yang menemukan jasad itu segera melapor, dan polisi setempat kini melakukan identifikasi forensik untuk memastikan identitas, penyebab kematian, serta sejak kapan jasad berada di lokasi (Primetimes.id, 17-9-2025).
Sebelumnya, kasus serupa juga terjadi di Surabaya. Seorang pria tega membunuh dan memutilasi seorang wanita yang diduga kekasihnya hingga menjadi ratusan potongan (Humas.polri.go.id, 10-9-2025).
Rentetan peristiwa ini memicu pertanyaan publik: mengapa kekerasan sadis dan mutilasi makin marak? Apakah nyawa manusia kini dianggap murah? Mengapa tindak kejahatan ekstrem semakin sering muncul?
Analisis Pakar: Faktor Psikologi dan Sosial
Para psikolog, kriminolog, dan ahli forensik menyoroti beberapa hal yang mendorong fenomena ini:
1. Motif menghilangkan barang bukti
Forensik kerap menemukan bahwa mutilasi dilakukan untuk menyembunyikan identitas korban agar sulit dilacak. Psikolog forensik Reza Indragiri menyebut kasus Angela di Bekasi sebagai bentuk “siasat menghilangkan barang bukti.” (Kompas.com, 10-1-2023)
2. Kejiwaan pelaku
Banyak pelaku menunjukkan ciri psikopat atau narsistik, dengan empati rendah dan kemampuan merencanakan tindakan kejam tanpa rasa bersalah. Kasus Ngawi, misalnya, pelaku disebut “psikopat narsistik” yang tenang melakukan mutilasi selama berjam-jam. (Timesindonesia.co.id, 3-2-2025)
3. Tekanan emosi dan konflik pribadi
Psikolog UMM, Adhyatman Prabowo, menilai banyak pelaku terdorong dendam, sakit hati, atau konflik pribadi yang memicu emosi mendadak hingga melahirkan tindakan ekstrem. (Detikcom, 9-1-2025)
4. Lemahnya deteksi dini dan penegakan hukum
Hukum yang lamban, proses pengadilan berbelit, atau bukti yang hilang membuat efek jera tipis. Pelaku merasa risiko tertangkap rendah. Norma kekerasan yang menular.
5. Maraknya Pemberitaan di Sosial Media
Maraknya pemberitaan, video kejahatan di media sosial, dan narasi publik dapat memberi efek “contagion” pada orang dengan kecenderungan menyimpang.
Semua analisis ini valid, tetapi tetap parsial. Ia hanya menyoroti pelaku sebagai individu, padahal akar masalah lebih dalam.
Buah Sistem Sekuler-Kapitalisme
Fenomena kekerasan brutal sejatinya lahir dari sistem sekuler-kapitalisme yang menguasai kehidupan. Sistem ini memisahkan agama dari urusan publik, sehingga standar halal-haram tidak lagi dijadikan pengendali. Moral akhirnya bersifat relatif.
Dalam sekulerisme, tindakan ditimbang berdasarkan untung-rugi atau pelampiasan emosi, bukan hukum syariat. Kekosongan ini diisi ego, nafsu, dan kepentingan material.
Kapitalisme menambah kerusakan. Tekanan ekonomi, persaingan keras, dan jurang sosial lebar membuat empati memudar. Dalam kondisi stres, konflik mudah meledak menjadi kekerasan. Sesama manusia dilihat bukan sebagai saudara, melainkan saingan atau objek kemarahan.
Dengan demikian, mutilasi bukan sekadar hasil gangguan jiwa atau pola asuh buruk, melainkan cerminan masyarakat yang dibentuk oleh sistem salah. Ketika manusia terbiasa menilai hidup dari kacamata materi, nyawa pun tampak murah. Selama sekuler-kapitalisme diterapkan, kekerasan semacam ini akan terus berulang.
Islam Menawarkan Sistem Kehidupan yang Berbeda
Berbeda dengan sekuler-kapitalisme, Islam hadir sebagai sistem menyeluruh (kaffah). Ia mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk perlindungan jiwa manusia.
1. Akidah sebagai pondasi
Seorang Muslim sadar amalnya selalu diawasi Allah. Kesadaran ini membentuk pengendali internal yang lebih kuat daripada sekadar takut hukum negara.
2. Syariat sebagai aturan tegas
Islam menetapkan qishash: nyawa dibalas nyawa. Hukuman ini bukan balas dendam, melainkan keadilan sekaligus pencegahan.
3. Keluarga dan masyarakat sebagai benteng moral
Keluarga dimuliakan sebagai penjaga pertama. Budaya amar makruf nahi munkar memastikan penyimpangan dicegah sebelum membesar.
4. Ekonomi yang adil
Islam melarang riba, monopoli, dan memastikan distribusi kekayaan merata. Dengan ini, jurang sosial yang memicu kriminalitas bisa ditekan.
5. Negara sebagai penegak keadilan
Dalam sistem Islam (khilafah), hukum Allah ditegakkan tanpa pandang bulu. Negara juga menjamin pendidikan, kesehatan, dan keamanan, sehingga faktor pendorong kriminalitas bisa diminimalisasi.
Fenomena pembunuhan sadis tidak akan berhenti dengan sekadar menambah polisi atau memperberat pasal pidana. Selama sekuler-kapitalisme masih jadi fondasi negara, kasus serupa akan terus berulang.
Satu-satunya jalan untuk benar-benar mengurangi bahkan menghapus fenomena ini adalah mengganti sistem rusak itu dengan sistem Islam. Islam bukan solusi tambal-sulam, melainkan sistem komprehensif yang menata manusia dari akarnya: iman, hukum, ekonomi, sosial, hingga peran negara.
Dalam sistem Islam, nyawa manusia bernilai sangat tinggi. Setiap jiwa amanah dari Allah. Melukai satu nyawa seakan melukai seluruh umat manusia. Maka, sudah sepatutnya umat Islam sadar bahwa hukum buatan manusia tidak mampu menyelamatkan masyarakat dari kebrutalan. Hanya syariat Islam yang mampu mengembalikan martabat manusia, menciptakan keamanan, dan menyiapkan generasi gemilang di masa depan.
Artikel ini telah ditayangkan:
https://www.tanahribathmedia.com/2025/09/fenomena-maraknya-pembunuhan-sadis-saat.html
0Komentar