Oleh: Naila Ahmad Farah Adiba
(Tim Redaksi Bumi Gurindam Bersyariah)
Bumigurindambersyariah.com - Opini Anda | Tahun ini, seremonial perayaan hari kemerdekaan seolah ternodai. Bulan Agustus yang biasanya penuh euforia, kini malah gelap tanpa cahaya. Negeri ini diselimuti oleh kabar duka akibat perginya para pemuda yang menjadi korban demo beberapa pekan yang lalu.
Sebenarnya jika kita telisik, demo ini bukanlah kali pertama terjadi. Sudah banyak berita dan sejarah yang mencatat bahwa demo ini adalah yang kesekian kali. Jika kita telusuri bersama, sejatinya demo yang diadakan oleh rakyat itu bukan hanya sekadar unjuk rasa, ia adalah salah satu upaya agar suara rakyat dapat didengar oleh para penguasa.
Namun mirisnya, ternyata aksi yang seharusnya berjalan dengan baik malah berakhir ricuh dan mengakibatkan banyak korban jiwa. Tak hanya mendapatkan luka-luka, di antara mereka bahkan ada yang sampai meregang nyawa.
Salah satunya adalah bang Affan Kurniawan. Seorang driver ojek online yang dilindas oleh Kendaraan Taktis (Rantis) Brimob saat hendak mengantarkan pesanan. Tak hanya bang Affan, ada bang Rheza Shendy Pratama, seorang mahasiswa Universitas AMIKOM Yogyakarta yang juga tewas oleh tangan aparat negara.
Seolah tak cukup dengan korban yang ada, bermunculan korban-korban lainnya dari berbagai wilayah di Indonesia. Ada Andika Lutfi Falah yang berusia 16 tahun, seorang pelajar yang mengalami pemukulan di kepala ketika demo di DPR.
Pak Rusdamdiansyah, seorang ojol di Makassar, juga tewas. Bang Iko Juliant, mahasiswa di Unnes, Semarang hingga Bapak Sumari, tukang becak di Solo yang tewas karena sesak napas yang diduga tertembak gas air mata. Selain beberapa nama di atas, ada banyak nama yang juga tewas. Jika tidak tewas, mereka menghilang dan belum ditemukan hingga saat ini.
Kemerdekaan Semu
Kemerdekaan yang katanya sudah 80 tahun berjalan, nyatanya sulit diterima oleh akal pikiran. Bayangkan, negara merdeka mana yang mengorbankan rakyatnya untuk tumbal keserakahan mereka? Negara merdeka mana yang menjadikan rakyat hanya sekadar komoditas yang bisa diperjualbelikan?
Namun, di sistem saat ini semua itu seolah hal lumrah yang terus dinormalisasikan. Sekularisasi terhadap setiap individu menjadikan mereka memisahkan antara agama dengan kehidupan. Sehingga mereka tidak perlu berpikir dua kali untuk melakukan kejahatan. Termasuk menjadikan rakyat sebagai tumbal keserakahan mereka.
Padahal, seorang pemimpin adalah ibarat perisai yang melindungi. Ia juga ibarat penggembala yang harus mempertanggungjawabkan segala perbuatannya. Ibarat penggembala, ia harus memastikan apa yang ia urus sejahtera dan tidak tersiksa.
Namun kenyataan yang terjadi saat ini adalah sebaliknya. Pemimpin tidak memikirkan kesejahteraan rakyatnya. Wajar saja, ketika asas yang digunakan adalah asas manfaat, maka apapun akan ditempuh meskipun melalui jalan yang Allah murkai.
Islam Menyejahterakan Rakyat
Berbeda dengan sistem saat ini. Islam senantiasa memberikan pelayanan terbaik untuk seluruh rakyatnya. Sebab, asas perbuatan mereka adalah rida-Nya Allah Swt. Maka, dalam memerintah pun mereka akan senantiasa memperhitungkan apakah Allah rida dengan mereka atau Allah murka.
Ketika kita melihat sistem saat ini begitu menyengsarakan rakyat, tidakkah kita ingin kembali kepada suatu sistem yang menyejahterakan rakyatnya? Sebuah sistem yang menjadikan syariat Islam sebagai landasan dalam seluruh aspek kehidupan.
Sebab, tanpa sistem Islam mustahil kesejahteraan rakyat dapat terwujudkan. Karena mereka yang sudah terperdaya oleh kenikmatan semu dunia hanya takluk pada asas manfaat bukan menyejahterakan rakyat.
Wallahu a'lam bish showwab.
Artikel ini telah ditayangkan:
https://www.tanahribathmedia.com/2025/09/rakyat-bukan-tumbal-keserakahan-aparat.html
0Komentar