GUr8TUW5BUW5TUC0TSz5GUY6

Headline:

Badai PHK Menerpa, Khilafah Bawa Sejahtera

Badai PHK Menerpa, Khilafah Bawa Sejahtera

Oleh: Siti Aisyah S.Sos, 
(Koordinator Kepenulisan Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok) 

Sungguh miris! Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) kembali menerpa dunia kerja. Kali ini datang dari produsen ban ternama, Michelin, melalui anak usahanya PT Multistrada Arah Sarana Tbk (MASA) di Cikarang. Sebagaimana yang diberitakan cna.id, (31-10-2025), sebanyak 280 karyawan harus angkat kaki dari pabrik, meninggalkan mesin-mesin yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. 

Tak hanya Michelin, Asosiasi Perusahaan Ban Indonesia (APBI) mengungkap ada banyak karyawan pabrik ban lain yang dirumahkan, salah satunya pabrik ban di Citeureup rumahkan 100 karyawan (ekonomibisnis.com, 3-11-2025). Alasannya, ‘efisiensi’. Sebuah kata yang terdengar ringan di atas kertas, tapi berat bagi mereka yang kehilangan pekerjaan di tengah biaya hidup yang terus naik.

Memang sungguh berat bagi rakyat yang terkena PHK. Di rumah-rumah, harapan perlahan terkikis. Keluarga yang dulu mengandalkan gaji bulanan kini harus menghadapi kenyataan tanpa kepastian kerja. Kepala keluarga tampak bingung, akankah dalam waktu dekat mendapatkan pekerjaan lagi? Pasalnya, peluang kerja baru tak serta-merta muncul, sementara kebutuhan keluarga tidak bisa ditunda, seperti biaya sekolah, listrik, dan kebutuhan sehari-hari. Bahkan, harga bahan pokok pun tak kunjung turun. Saat ini bagi rakyat kecil, hidup bukan lagi soal mimpi dan cita-cita tapi soal bertahan hidup dari hari ke hari.

Ironisnya, gelombang PHK terjadi di tengah klaim pemerintah tentang kondisi ekonomi baik-baik saja, serta pengangguran menurun (finance.detik.com, 16-8-2025). Sementara pemilik modal bicara efisiensi, rakyat kecil justru tersingkir dan berjuang sekadar untuk bertahan hidup. Kebijakan ekonomi pun terus berpihak pada korporasi. Jika kebijakan ekonomi terus berpihak pada korporasi dan mengabaikan pekerja, yang tersisa hanyalah kisah getir rakyat di tengah badai PHK yang tak berakhir.

Padahal, di tahun 2025 ini, tren PHK terus berlanjut. Satu per satu dunia usaha mulai tumbang, terutama usaha kecil dan menengah. Kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah tidak hanya gagal mengatasi permasalahan ekonomi, tetapi juga memperparah krisis ketenagakerjaan. Indonesia kini berada dalam situasi darurat PHK. Tentunya kondisi seperti ini jika dibiarkan akan mengancam keberlangsungan hidup rakyat, karena banyak yang kehilangan sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Inilah potret kehidupan negeri yang kaya sumber daya alam dan potensi manusia, namun ketika krisis menerjang, makin banyak rakyat yang terpuruk. Orang-orang yang seharusnya menjadi tuan di tanah airnya sendiri, justru terus terjepit oleh sistem ekonomi kapitalis yang tampak lebih berpihak pada pemodal besar daripada rakyat jelata sebagai pekerja.

Sampai kapan rakyat harus menanggung beban kebijakan yang belum secara nyata membalikkan keadaan? Badai PHK ini bukan sekadar angka statistik, ini jeritan nyata dari jutaan keluarga yang hidupnya di ambang keputusasaan.

Sebagai respons berlanjutnya ancaman PHK akibat tekanan ekonomi global, efisiensi bisnis, dan disrupsi teknologi, yang terbaru pemerintah di bulan Agustus 2025, membentuk Satuan Tugas Pemutusan Hubungan Kerja (Satgas PHK). Satgas PHK sendiri adalah tim lintas kementerian yang bersifat sementara dan strategis, dibentuk pemerintah untuk memantau, mencegah, dan mencari solusi atas gelombang PHK massal di berbagai sektor (neraca.co.id, 14-4-2025).

Namun, sebelumnya, pemerintah juga menerapkan salah satu kebijakan, yakni Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) sebuah program jaminan sosial permanen yang dijalankan BPJS Ketenagakerjaan, memberikan bantuan uang tunai, akses informasi kerja, dan pelatihan ulang bagi pekerja yang sudah terdaftar dan kehilangan pekerjaan. Program ini memberikan gaji sebesar 60% selama enam bulan dengan batas upah maksimal Rp5 juta. 

Selain bantuan uang tunai, program ini juga mencakup pelatihan kerja gratis dan informasi pasar kerja untuk membantu pekerja mendapatkan pekerjaan baru. Aturan terbaru ini berlaku efektif sejak 7 Februari 2025 berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 6 Tahun 2025 (cna.id, 17-2-2025).

Namun, kebijakan ini jelas bukan solusi nyata dan tidak menyentuh akar persoalan. Dalam kondisi ekonomi yang lesu, enam bulan waktu yang sangat singkat untuk mendapatkan pekerjaan baru. Di sisi lain, upah yang dijanjikan tidak sebanding dengan biaya hidup yang terus meningkat. Dengan demikian, JKP hanyalah solusi tambal sulam yang dibuat untuk meredam keresahan masyarakat, bukan solusi tuntas untuk mengatasi permasalahan PHK yang terus berulang. Begitu juga, pembentukan satgas PHK juga belum berjalan maksimal.

Buah dari Sistem Kapitalis

Gelombang PHK di Indonesia bukan semata dampak ekonomi global, melainkan buah dari sistem kapitalisme yang menempatkan pemilik modal sebagai penguasa, sementara rakyat hanya alat produksi yang mudah dibuang. Dalam sistem ini, perusahaan lebih mementingkan efisiensi dan keuntungan ketimbang kesejahteraan pekerja. Maka, saat ekonomi tertekan, PHK massal menjadi langkah pertama.

Yang mirisnya, keberpihakan pemerintah kepada korporasi tampak melalui regulasi yang memudahkan PHK, menekan upah, dan melanggengkan sistem outsourcing yang sering kali tidak memberikan perlindungan kerja jangka panjang juga memperparah kondisi para pekerja. Padahal, negeri ini kaya sumber daya alam yang semestinya dikelola untuk rakyat, bukan diserahkan kepada segelintir elite atau korporasi asing. Sehingga sistem kapitalisme telah gagal menyejahterakan rakyat, yang ada hanya menguntungkan segelintir orang.

Dalam sistem kapitalis, tujuan utama perusahaan selalu memaksimalkan keuntungan, namun mengorbankan pekerja. Perusahaan-perusahaan berusaha mengecilkan biaya produksi dengan cara memotong tenaga kerja atau menggantinya dengan teknologi yang lebih murah. Pekerja dianggap sebagai faktor produksi, sehingga PHK terjadi ketika perusahaan berusaha menyesuaikan dengan dinamika pasar yang kompetitif dan menekan biaya.

Ditambah pula kebijakan pemerintah yang memfasilitasi perusahaan, seperti melalui UU Cipta Kerja dan kebijakan liberalisasi ekonomi, memperburuk situasi. Pasalnya, kebijakan tersebut mempermudah terjadinya PHK dan mendorong penggunaan tenaga kerja asing, yang merugikan pekerja lokal.

Khilafah Islam Solusinya

Berlanjutnya gelombang PHK tentunya akan membuat ekonomi rakyat semakin sulit. Oleh karena itu, negara dalam Islam (Khilafah Islam) hadir menuntaskan gelombang PHK dan datang bawa rakyat sejahtera. Pasalnya, Khilafah Islam memberikan solusi fundamental bukan tambal sulam, berfokus pada pendekatan yang komprehensif untuk kesejahteraan rakyat melalui prinsip-prinsip ekonomi Islam. 

Apalagi Khilafah Islam tugasnya mengurusi urusan rakyat yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan, termasuk menjamin tersedianya lapangan kerja. Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (khalifah) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyatnya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap rakyatnya” (HR Bukhari dan Muslim).

Adapun solusi yang ditawarkan di antaranya. Pertama, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan bagi setiap laki-laki yang mampu, baik ia berstatus sebagai suami, ayah, maupun wali. Sebab, dalam Islam, mencari nafkah adalah kewajiban yang dibebankan kepada laki-laki sebagai kepala rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Apabila kewajiban ini diabaikan, maka ia akan berdosa.

Banyak sekali jenis pekerjaan yang bisa dilakukan. Sebagaimana dijelaskan dalam kitab Nizham al-Iqtishad fi al-Islam karya Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, setidaknya terdapat tujuh jenis pekerjaan dalam Islam.

(1);menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat). Siapa pun yang mengelola tanah mati dengan menanaminya, membangun di atasnya, atau memanfaatkannya, maka tanah itu menjadi miliknya. Rasulullah saw. bersabda,

"Siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR at-Tirmidzi dan Abu Dawud).

Karena itu, negara berkewajiban mendorong rakyat bekerja di sektor pertanian dan perkebunan dengan memberikan akses tanah yang belum digarap secara gratis.

(2); menggali harta yang terpendam di perut bumi yang jumlahnya sedikit atau terbatas berupa emas, perak, yang ditemukan di dalam tanah mati yang bukan milik seseorang, maka menjadi milik penemunya dan diambil khumusnya untuk dimasukkan ke kas negara (baitul maal). 

(3); berburu, seperti berburu ikan, batu permata, dan harta yang diperoleh dari hasil buruan laut bisa dimiliki oleh seseorang yang memburunya. Ini berlaku dalam perburuan burung dan hewan lainnya yang dibolehkan.

(4); makelar (samsarah) atau pemandu (dalalah). Keduanya bekerja untuk orang lain dengan mendapatkan upah, baik untuk keperluan menjualkan dan membelikan.

(5); kerja sama (mudharabah) antara dua orang dalam suatu perdagangan atau bisnis. Satu pihak bekerja dan pihak lainnya menyerahkan harta, keduanya sepakat mengenai prosentase tertentu dari keuntungan yang diperoleh.

(6); mussaqat, yakni seorang pemilik pohon mempekerjakan orang untuk merawat, mengurus, menyirami dan upahnya dari sebagian hasil panen tapi berlaku untuk pohon yang bisa berbuah.

(7); kontrak kerja (ijarah). Islam membolehkan seseorang mengontrak tenaga/jasa pekerja atau buruh yang bekerja untuk dirinya. Para pekerja akan digaji yang layak sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak (antara majikan dan pekerja).

Kedua, pemberian negara (i’tha ad-dawlah) kepada rakyat yang diambil dari baitul maal, baik dalam rangka memenuhi hajat hidup atau memanfaatkan kepemilikan rakyat. Pasalnya, negara punya wewenang mengalihkan kepemilikan negara menjadi milik individu rakyat tanpa meminta imbalan. Contohnya, memberikan tanah mati yang tidak ada pemiliknya kepada rakyat secara cuma-cuma. Seperti yang pernah Rasulullah saw. lakukan ketika berada di Madinah, Beliau pernah memberikan sebidang tanah kepada Abu Bakar ra dan Umar ra.

Ketiga, negara wajib menyediakan lapangan kerja melalui pengelolaan sumber daya alam (SDA). Dalam Islam, SDA yang berskala besar seperti tambang emas, minyak, gas, laut, dan hutan termasuk milik umum (milkiyah ‘ammah). Pengelolaannya menjadi tanggung jawab negara, sedangkan hasilnya harus dikembalikan sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat. Rasulullah SAW bersabda,

 “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api” (HR Abu Dawud dan Ibnu Majah).

Dari sini, negara wajib mengelola sendiri sumber daya alam tersebut tanpa adanya privatisasi oleh pihak asing maupun swasta. Pengelolaan ini mencakup seluruh prosesnya, mulai dari eksplorasi, penggalian, pemurnian, pemisahan dari bahan lain, hingga penjualan hasilnya. Seluruh pendapatan disimpan di baitul maal dan digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti pembangunan infrastruktur, pelayanan kesehatan gratis, pendidikan gratis, serta berbagai fasilitas publik lainnya. Dengan pengelolaan mandiri ini, negara dapat membuka industri besar, menciptakan ribuan bahkan jutaan lapangan kerja, dan menggerakkan sektor riil secara berkelanjutan.

Keempat, negara memfasilitasi rakyat untuk berwirausaha dengan modal dari baitul maal bagi yang tidak mampu memulai usaha. Umar bin Khaththab pernah memberikan modal dari baitul maal kepada fakir agar bisa berdagang (Atsar Umar riwayat Ibnu Sa‘d). Ini dilakukan untuk menambah pekerjaan karena rakyat bisa menjadi pengusaha, bukan hanya pencari kerja.

Kelima, negara memberikan pendidikan dan pelatihan berbasis kebutuhan pasar. Sistem pendidikan Islam diarahkan mencetak SDM yang siap kerja dan siap berusaha, bukan sekadar lulusan teoritis. Maka, negara akan membangun sekolah, universitas, dan pusat pelatihan gratis untuk keterampilan teknis, industri, dan pertanian.

Pendekatan ini menjadikan Islam sebagai solusi fundamental yang menciptakan kesejahteraan secara menyeluruh bagi pekerja dan masyarakat. Maka, sudah saatnya kembali kepada sistem Islam secara kaffah (Khilafah) yang akan menjamin kebutuhan pokok rakyat—kesehatan, pendidikan, transportasi, hingga energi—dengan harga terjangkau. Dengan demikian, rakyat tak perlu khawatir menghadapi badai PHK, karena negara hadir sebagai pelindung dan penopang kesejahteraan.[]
Daftar Isi

0Komentar

Follow Pasang Iklan
Follow Pasang Iklan
D

disclaimer: Bumigurindambersyariah.com memberikan ruang bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan yang khas memenangkan opini Islam serta memihak kepada kaum Muslim.

Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain.

Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Bumigurindambersyariah.com. Silakan mengirimkan tulisan Anda melalui link ini kirim Tulisan

KLIK

Support Dakwah Bumigurindambersyariah.com

Donasi akan mendanai biaya perpanjangan domain dan aktivitas dakwahnya.

Formulir
Tautan berhasil disalin