Oleh: Ilma Nafiah
(Aktivis Muslimah Kepulauan Riau)
Puluhan ton bawang merah dan bombai ditemukan teronggok di sebuah jurang di Batam. Berita itu segera menjadi viral. Warga yang penasaran berdatangan, sebagian bahkan berebut mengambil sisa-sisa yang masih tampak layak. Namun di balik kejadian itu, tersimpan pertanyaan besar yang tak kunjung dijawab tuntas: mengapa bahan pangan sebanyak itu bisa berakhir di tempat sampah raksasa, sementara di saat yang sama harga kebutuhan pokok terus melambung di pasar?
Polisi mengungkap bahwa tumpukan bawang itu diduga berasal dari hasil impor ilegal yang terlanjur busuk dan tak bisa diedarkan. Namun jika benar demikian, justru semakin memperlihatkan betapa rapuhnya sistem ekonomi dan pengelolaan pangan kita. Negeri yang disebut-sebut “tanah surga” — tempat tongkat dan batu bisa jadi tanaman — ternyata masih bergantung pada pasokan pangan dari luar negeri, bahkan untuk komoditas yang sebenarnya bisa tumbuh subur di tanah sendiri.
Ilegal, Mubazir, dan Minim Kesadaran
Ada dua ironi yang menyayat dalam peristiwa ini. Pertama, dugaan bahwa bawang-bawang itu merupakan hasil penyelundupan atau impor ilegal. Padahal, Indonesia memiliki lahan pertanian luas dan para petani yang tangguh. Jika kebijakan pertanian diarahkan dengan benar, bawang bombai bukanlah barang langka yang harus diimpor dari negeri jauh. Ketergantungan terhadap produk luar negeri hanya memperlemah kedaulatan pangan dan menjerumuskan petani lokal dalam penderitaan berkepanjangan.
Kedua, munculnya warga yang berebut bawang dari jurang tanpa mengetahui asal-usul dan keamanannya menunjukkan betapa rendahnya literasi dan kesadaran hukum masyarakat — termasuk dalam pandangan Islam. Mengambil barang yang belum jelas kepemilikannya tergolong syubhat, dan Rasulullah ﷺ telah memperingatkan bahwa perkara syubhat lebih dekat kepada keharaman. Hal ini bukan sekadar masalah hukum, tetapi juga cerminan dari lemahnya iman dan urgensi pembinaan akhlak masyarakat dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan.
Lebih dari itu, tindakan membuang bahan pangan dalam jumlah besar adalah bentuk kemubaziran (israf) yang sangat dibenci Allah Swt. Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.” (TQS. Al-Isra: 27)
Bayangkan, di saat sebagian rakyat kesulitan membeli bahan pokok, ada puluhan ton makanan yang dibiarkan membusuk. Ini bukan sekadar kelalaian logistik — ini adalah potret krisis moral dan kegagalan sistem dalam mengatur amanah ekonomi.
Bahaya di Balik Bawang Impor
Para pakar pangan juga mengingatkan bahaya laten dari bawang impor ilegal. Selain mengancam pasar lokal, produk ilegal sering kali tidak melalui proses karantina dan pemeriksaan kesehatan. Bisa saja bawang-bawang tersebut membawa hama tanaman, bakteri, atau bahkan zat kimia berbahaya. Jika produk seperti ini sampai ke pasar, dampaknya bisa sangat fatal: merusak ekosistem pertanian, menurunkan kualitas tanah, bahkan mengancam kesehatan masyarakat.
Kasus ini harus menjadi peringatan keras: bahwa sistem ekonomi yang bergantung pada impor tanpa pengawasan dan tanpa arah kemandirian akan terus membuka pintu bagi kejahatan terorganisir yang merugikan rakyat dan negara.
Solusi Islam: Dari Lahan hingga Kepemimpinan
Islam memiliki sistem yang paripurna dalam mengatur urusan pangan dan ekonomi — bukan hanya sebagai aturan moral, tetapi juga sebagai sistem kebijakan yang konkret. Dalam negara khilafah, kebijakan pertanian diarahkan untuk memaksimalkan potensi lahan dan memastikan kemandirian pangan. Tanah tidak boleh dibiarkan menganggur, dan hasil pertanian diarahkan untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan untuk keuntungan segelintir pihak.
Pertama, negara Islam tidak akan membiarkan lahan subur terbengkalai sementara rakyat bergantung pada impor. Khalifah akan memastikan setiap jengkal tanah produktif diolah dan dimanfaatkan. Petani diberi fasilitas, bibit, dan perlindungan dari permainan pasar. Produksi dalam negeri menjadi prioritas utama agar kebutuhan rakyat tercukupi tanpa harus menengadahkan tangan pada bangsa lain.
Kedua, Islam melarang pengambilan barang yang tidak jelas kepemilikannya tanpa izin. Dalam sistem hukum Islam, setiap tindakan warga harus berada dalam koridor halal dan jelas sumbernya. Hal ini mencegah munculnya praktik mengambil harta syubhat, sekaligus menjaga ketertiban sosial agar masyarakat tidak terbiasa melanggar hukum atas nama kebutuhan.
Ketiga, negara dalam sistem khilafah memiliki mekanisme distribusi pangan yang adil dan terjamin. Tak akan ada penyelundupan, penimbunan, atau pembuangan barang secara mubazir. Jika ada kelebihan stok, negara wajib menyalurkannya ke daerah lain yang kekurangan. Prinsip ini menutup celah munculnya kejahatan ekonomi sekaligus menjaga kelestarian pangan.
Keempat, khalifah sebagai pemimpin umat bertugas menjaga keamanan ekonomi dan melindungi pasar dari bahaya luar — termasuk serbuan impor ilegal, praktik kartel, dan infiltrasi korporasi asing. Ketahanan pangan adalah bagian dari ketahanan ideologis dan politik, bukan sekadar urusan bisnis.
Cermin untuk Negeri
Kasus bawang di Batam bukan sekadar berita ringan tentang “barang buangan”. Ia adalah cermin retak sistem ekonomi yang salah arah, yang menempatkan rakyat dalam ketergantungan dan kebingungan. Ia juga mengingatkan bahwa kesadaran moral dan spiritual harus berjalan seiring dengan kebijakan negara. Sebab, tanpa iman, hukum hanyalah teks; dan tanpa sistem yang benar, moral hanyalah slogan.
Negeri ini tidak kekurangan tanah, petani, atau sumber daya. Yang kita kekurangan adalah sistem yang benar dan pemimpin yang amanah. Selama ekonomi masih dikendalikan oleh kepentingan kapitalistik, tragedi seperti tumpukan bawang di jurang akan terus berulang — hanya bentuknya yang berbeda.
Saatnya kembali kepada sistem yang menempatkan manusia, alam, dan hukum Allah pada tempatnya. Dalam Islam, setiap butir hasil bumi adalah amanah, bukan komoditas yang bisa dibuang seenaknya. Negeri yang mengaku beriman seharusnya malu pada jurang yang kini menampung bukan hanya bawang busuk — tetapi juga sisa-sisa nurani dan akal sehat bangsa yang kehilangan arah.
Artikel ini telah ditayangkan di:
https://www.tanahribathmedia.com/2025/11/bawang-di-jurang-iman-di-tepi-cermin.html


0Komentar