Oleh: Afifah
(Aktivis Muslimah Kepulauan Riau)
Peristiwa ini dialami oleh BJ, warga Botania 1, Batam, pada malam 16 Oktober 2025. Saat sedang bersantai bersama teman-temannya, rumah BJ tiba-tiba didobrak oleh delapan orang berpakaian preman yang mengaku sebagai petugas BNN. Tanpa menunjukkan surat tugas atau identitas resmi, mereka menggeledah rumah dan mengklaim menemukan serbuk putih yang disebut sebagai narkoba.
BJ menegaskan bahwa barang itu bukan miliknya dan menduga kuat telah dijebak. Dalam situasi panik dan di bawah ancaman senjata, para pelaku meminta uang “damai” sebesar satu miliar rupiah. Demi keselamatan istrinya yang sedang hamil, BJ akhirnya menyerahkan uang Rp300 juta hasil pinjaman dari abang iparnya.
Beberapa hari kemudian, BJ mengetahui bahwa para pelaku diduga melibatkan oknum dari TNI dan Polri. Kecurigaan itu semakin kuat setelah dua orang dari kelompok yang sama datang kembali dan menawarkan “jasa keamanan” dengan imbalan uang.
Bukti lain muncul ketika BJ menerima pesan WhatsApp dari salah satu pelaku yang menawarkan perlindungan bagi pengguna narkoba dengan tarif Rp30 juta. Akibat peristiwa itu, istri BJ mengalami trauma berat dan enggan kembali ke rumah. Kini BJ menempuh jalur hukum dengan didampingi pengacara, menuntut agar para pelaku diproses pidana dan diberhentikan dari institusi mereka.
Hingga saat ini, belum ada konfirmasi resmi dari BNN, TNI, maupun Polri. Kasus ini mencerminkan dugaan kuat penyalahgunaan wewenang oleh oknum aparat yang melakukan penggeledahan ilegal dan pemerasan, sementara BJ bertekad memperjuangkan keadilan agar kejadian serupa tidak menimpa warga lain.
Analisis Kasus dalam Pandangan Islam
Kasus yang menimpa BJ menunjukkan betapa rusaknya sistem hukum dalam masyarakat yang diatur oleh sistem sekular-kapitalis, yaitu sistem yang memisahkan agama dari kehidupan. Dalam sistem seperti ini, hukum dibuat berdasarkan kepentingan manusia, bukan atas dasar wahyu Allah. Akibatnya, hukum menjadi alat kekuasaan dan sumber keuntungan bagi segelintir pihak, termasuk oknum aparat. Ketika hukum tidak lagi berlandaskan akidah dan takwa, maka kezaliman, pemerasan, dan penyalahgunaan wewenang menjadi hal yang lazim.
Dalam Islam, penegak hukum (qadhi atau aparat) memiliki tanggung jawab besar untuk menegakkan keadilan karena mereka adalah wakil negara (Khilafah) dalam menjaga hak rakyat dan menerapkan hukum Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya orang-orang yang sebelum kamu binasa karena apabila orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka biarkan; tetapi jika orang lemah di antara mereka mencuri, mereka tegakkan hukum atasnya. Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menunjukkan bahwa keadilan dalam Islam tidak mengenal status, pangkat, atau jabatan. Siapa pun yang melanggar hukum Allah harus diproses secara adil.
Namun dalam sistem sekular, hukum bisa dibeli. Kasus BJ menunjukkan bahwa aparat yang seharusnya melindungi justru menjadi pelaku kejahatan, memeras rakyat demi kepentingan pribadi. Ini adalah bukti nyata rusaknya sistem hukum buatan manusia yang menuhankan materi dan mengabaikan nilai moral serta ketakwaan.
Islam Sebagai Solusi
Solusi dalam Islam pertama, menegakkan hukum berdasarkan syariat Allah. Islam menetapkan bahwa sumber hukum utama adalah Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah ﷺ. Semua bentuk kezaliman seperti pemerasan, korupsi, dan suap termasuk dosa besar karena merusak keadilan dan kepercayaan publik. Dengan penerapan hukum Islam (syariat), pelaku kejahatan akan dihukum sesuai ketentuan Allah tanpa diskriminasi, sehingga keadilan benar-benar ditegakkan.
Kedua, menanamkan akhlak dan takwa dalam masyarakat. Keimanan menjadi benteng moral yang kokoh bagi setiap individu. Pencegahan korupsi dan suap dimulai dari pembinaan iman dan moral individu.
Ketiga, kepemimpinan yang amanah dan tegas. Pemimpin dalam sistem Islam wajib berlaku adil dan menegakkan hukum tanpa pandang bulu.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya orang-orang sebelum kamu binasa karena apabila orang terpandang di antara mereka mencuri, mereka membiarkannya, tetapi apabila orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukum atasnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Keempat, sanksi yang tegas dan mendidik. Islam menetapkan hukuman (uqubat) yang bersifat menjerakan sekaligus mendidik agar masyarakat jera dan tidak mengulangi perbuatan keji tersebut.
Sanksi diterapkan secara adil, transparan, dan sesuai dengan syariat.
Negara dalam sistem Islam (Khilafah) akan, Menerapkan hukum syariah secara tegas kepada pelaku kejahatan tanpa pandang bulu. Mengawasi aparat dengan mekanisme hisbah dan qadhi mazhalim, agar tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan. Mendidik masyarakat dengan akidah Islam, sehingga keimanan menjadi benteng moral yang kokoh. Menjamin kebutuhan hidup rakyat, agar tidak ada alasan bagi seseorang mencari keuntungan haram atau menjual hukum demi materi.
Dari kasus BJ bukan hanya masalah individu, tetapi cerminan kerusakan sistemik akibat penerapan hukum sekular-kapitalis. Dalam sistem ini, keadilan hanyalah slogan, sementara hukum bisa dipermainkan oleh mereka yang berkuasa.
Islam memandang bahwa keadilan sejati hanya dapat terwujud dengan penerapan syariah secara menyeluruh dalam naungan Daulah Khilafah. Hanya dengan kembali kepada hukum Allah, penegak hukum akan bertindak sebagai pelindung rakyat, bukan perampok berseragam.
Pemerasan, korupsi, dan suap tidak akan pernah hilang jika hukum buatan manusia yang lemah dan tebang pilih tetap dipertahankan.
Solusi hakiki hanyalah dengan menerapkan hukum Islam secara menyeluruh (syariat Allah) dalam kehidupan bernegara, agar keadilan tegak, pelaku kriminal jera, dan masyarakat hidup dalam kejujuran, aman, serta berkah. Wallahu 'alam bisshowab.


0Komentar