Oleh: Eny Muazizah
(Aktivis Muslimah Kepulauan Riau)
Temuan RSJKO Engku Haji Daud (EHD) terkait adanya pelajar di Bintan yang terindikasi LGBT bukan sekadar “kasus baru”, melainkan bukti nyata bahwa kita sedang menyaksikan dekonstruksi moral generasi secara perlahan namun pasti. Jika masyarakat, sekolah, dan negara masih berpura-pura tidak melihat kedalaman ancaman ini, maka kita sedang menyiapkan kehancuran peradaban dengan tangan kita sendiri.
Fenomena LGBT di kalangan pelajar bukan gejala spontan, tetapi buah dari proses panjang: penetrasi budaya liberal, lemahnya benteng akidah, dan hancurnya kontrol sosial. Jika tren ini terus dibiarkan, maka apa yang kini tampak sebagai “indikasi” akan segera berubah menjadi normalisasi dan saat itu terjadi, semuanya sudah terlambat.
Ini Bukan Sekadar Masalah Perilaku, Ini Masalah Cara Berpikir
Banyak pihak masih keliru dengan menganggap LGBT sebagai persoalan psikologis yang bisa diselesaikan melalui konseling atau terapi jangka pendek. Padahal akar persoalannya jauh lebih dalam yaitu kerapuhan akidah dan kerusakan pola pikir.
Ketika seorang remaja tidak lagi memiliki standar benar salah yang kokoh, ketika batas moral dihapus oleh narasi “kebebasan”, ketika media sosial menjadi guru utama, maka penyimpangan pun tampak sebagai sesuatu yang wajar.
Ini bukan sekadar kegagalan individu. Ini adalah kegagalan sistemik.
Teknologi Menjadi Gerbang Pemusnah Fitrah
Mari jujur, pelajar hari ini lebih banyak belajar tentang identitas seksual dari TikTok, Instagram, dan drama Korea dibandingkan dari guru, orang tua, ataupun tokoh agama. Konten LGBT hadir dengan sangat halus dibungkus dalam narasi toleransi, persahabatan, bahkan komedi. Pelajar yang masih labil emosinya menjadi sasaran empuk propaganda semacam ini. Tanpa sensor, tanpa kontrol, tanpa benteng akidah, maka yang terjadi adalah apa yang kita lihat hari ini: fitrah anak terkikis oleh paparan konten yang destruktif.
Sekularisme dalam Pendidikan: Menghasilkan Pelajar Pintar, tapi Kosong Jiwa
Sekolah hari ini sibuk mengejar akreditasi, ranking, prestasi akademik, tetapi melupakan pembentukan adab dan iman. Pendidikan telah direduksi menjadi pabrik nilai rapor, bukan pembentuk manusia.
Bagaimana mungkin kita berharap pelajar memahami fitrah seksual, menjaga kehormatan diri, atau memiliki panduan hidup yang benar jika akidah tidak pernah ditanamkan secara serius?
Inilah mahalnya harga sistem pendidikan sekular, generasi pintar tapi tak mengenal batas moral.
Orang Tua yang Lalai Menuai Generasi yang Hilang
Tidak sedikit orang tua yang menyerahkan pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah dan gawai. Mereka sibuk, lelah, atau bahkan tidak paham bagaimana mengawasi jejak digital anak. Padahal musuh terbesar anak hari ini ada di genggaman tangan mereka sendiri: layar smartphone.
Kita tidak boleh memaklumi kelalaian ini. Orang tua adalah benteng pertama dan terakhir. Jika benteng itu runtuh, maka sekolah, masyarakat, dan negara akan kewalahan memperbaiki apa yang sudah terlanjur hancur.
Kita Butuh Sistem yang Tegas, Bukan Retorika
Jika kita benar-benar ingin menyelamatkan generasi, maka langkah-langkah sistemik harus diambil, bukan sekadar imbauan moral yang tidak berdampak.
1. Pendidikan Islam Berbasis Akidah
Pelajar harus dibina cara berpikirnya: siapa dirinya, apa fitrahnya, dan untuk tujuan apa ia hidup. Pendidikan yang membentuk karakter Islam adalah satu-satunya cara menghasilkan generasi yang tangguh akidah dan lurus moral.
2. Negara Harus Melindungi Ruang Publik dan Ruang Digital
Negara tidak boleh membiarkan konten LGBT beredar bebas. Tanpa regulasi kuat, media digital akan menjadi mesin penghancur generasi.
3. Sinergi Keluarga, Sekolah, dan Masyarakat
Generasi tidak akan selamat jika hanya satu pihak bekerja. Orang tua harus mengevaluasi pola asuh, sekolah harus memperkuat pendidikan karakter, dan masyarakat harus aktif menjaga ruang sosial dari normalisasi penyimpangan.
Penutup: Jangan Tunggu Azab Itu Datang
Kisah kaum Nabi Luth as. bukan sekadar sejarah kelam, tetapi peringatan. Ketika penyimpangan dibiarkan, ketika masyarakat bungkam, dan ketika negara abai, maka kehancuran adalah konsekuensi logis.
Fenomena LGBT di kalangan pelajar adalah tanda bahwa fondasi moral kita sedang retak. Jika kita tidak segera memperbaikinya, kita sedang menyerahkan masa depan bangsa kepada generasi yang tercerabut dari fitrah, identitas, dan harga dirinya.
Saatnya berhenti lunak terhadap penyimpangan. Saatnya bersikap tegas, sistemik, dan total untuk menyelamatkan generasi.
Wallahu 'alam bissawwab.


0Komentar