Oleh: Mahesa Rani
(Aktivis Muslimah Kepulauan Riau)
Kehidupan manusia modern saat ini tidak terlepas dari pengaruh besar sistem kapitalisme sekuler. Sebagian besar kaum muslimin telah tertipu dan terpedaya dengan kebebasan yang diagung-agungkan kapitalisme sekuler yang bertentangan dengan Islam. Propaganda yang digencarkan kapitalisme ini berupa seruan dalam nilai-nilai yang diusungnya, di antaranya kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan berekspresi.
Kebebasan individu dalam sistem kapitalis sekuler menanamkan nilai materialistik dan pencarian keuntungan tanpa batas. Dalam situasi inilah, generasi muda Muslim, khususnya generasi Z dan Alfa — tumbuh dalam dunia digital yang dimanjakan nilai-nilai kapitalistik sekuler.
Gen Z hidup dalam kemudahan teknologi, yang sering terjebak dalam gaya hidup konsumtif, individualistik, dan kehilangan arah spiritual Islam.
Fenomena inilah yang melahirkan tantangan besar bagi umat Islam, yaitu membentuk generasi Muslim yang tetap berpegang teguh pada akidah dan syaksiyah Islam, meskipun hidup di tengah arus kapitalisme yang kuat.
Namun realitas menunjukkan bahwa banyak generasi muda Muslim lebih mengenal budaya pop dunia dibanding dengan ajaran agamanya sendiri. Media sosial menjadi ruang utama pembentukan karakter dan identitas gen Z melalui konten, mulai dari gaya berpakaian, opini, jiwa sosial hingga like-follower menjadi pembentuk validasi sosial yang memperngaruhi kepercayaan diri dan orientasi gen Z.
Sedangkan pendidikan dan keluarga acap kali dikesampingkan dan mengubah pola pikir serta nilai-nilai baru yang menumbuhkan individualisme dan cepat menilai orang lain tanpa pemahaman mendalam.
Islam hanya dipahami secara ritual — shalat, puasa, haji, zakat dan berhijab — tanpa disertai kesadaran bahwa Islam sejatinya adalah sistem kehidupan yang mengatur seluruh aspek hidup manusia. Krisis nilai inilah yang terlihat dari meningkatnya perilaku hedonis sebagai penurunan adab terhadap orang tua dan guru, serta orientasi hidup yang semata-mata mengejar kesenangan dunia. Semua ini adalah akibat dari dominasi tatanan kapitalis sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan nyata.
Akar Masalah
Peradaban Kapitalisme sekuler telah berhasil menggantikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Kapitalisme menanamkan pandangan bahwa kebahagiaan dapat diraih melalui kebebasan kepemilikan materi tanpa batas yang dapat membentuk pola pikir manusia modern. Akibatnya, Islam hanya dianggap urusan pribadi, bukan pedoman hidup yang menyeluruh.
Kapitalisme mengarahkan dengan pendidikan akan mencetak manusia produktif secara ekonomi, bukan manusia bertakwa. Orang tua lebih bangga ketika anaknya “sukses finansial” daripada berakhlak mulia. Media sosial pun memperkuat pola pikir ini dengan menonjolkan gaya hidup mewah dan kebebasan tanpa batas.
Generasi Muslim pun akhirnya tumbuh menjadi korban dari tatanan digital kapitalistik yang pandai berteknologi, tetapi lemah dalam pemahaman kehidupan nyata terlebih memahami Islam sebagai sebuah ideologi. Menghadapi kondisi seperti ini, pendekatan yang lebih relevan dan kontekstual hanyalah dengan mendakwahkan Islam secara kafah kepada generasi muslim khususnya gen Z. Sebab itu dibutuhkan kurikulum terstruktur untuk menyusun strategi pemenuhan kebutuhan naluri gen Z berdasarkan aturan dari Sang Khalik, mulai dari naluri beragama, naluri emosional, hingga naluri berkasih sayang.
Menyadarkan generasi Muslim sebagai korban sistem kapitalis sekuler yang bukan berasal dari Islam, yang memuja akan kebebasan dan kesenangan dunia semata. Mengajak generasi Z untuk melawan nilai-nilai kapitalis sekuler yang telah merusak generasi dengan membongkar nilai-nilai yang rusak dan merusak.
Menjadi muslim bukan berarti kolot pemikiran dan kepribadian, tetapi justru menjadi visioner perubahan yang progresif dan berakhlakhul kharimah. Sudah saatnya bersungguh-sungguh dalam membina generasi muslim melalui dalam Islam kaffah, yang tidak cukup hanya dengan ceramah, tetapi juga harus ada pembinaan yang berkelanjutan seperti halaqah, mentoring, kajian terstruktur, dan kegiatan dakwah lainnya. Pengkaderan atau pembinaan seperti inilah yang menumbuhkan rasa memiliki terhadap Islam dan membentuk karakter yang kokoh di tengah gempuran budaya modern yang kapiotalis sekuler.
Sebagaimana pesan Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib r.a., “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu.” Pesan ini mengajarkan bahwa metode pendidikan dan dakwah harus menyesuaikan dan sejalan dengan konteks zaman, namun tetap dan harus senantiasa berada dalam koridor syariat Islam yang bersumber dari Al-Qur’an, As-Sunnah, Qiyas dan ijma Sahabat.
Kembali Kepada Islam Kaffah
Peradaban Islam telah membuktikan kegemilangan yang menjadi solusi untuk membangkitkan kembali generasi Muslim tidak hanya bersifat moral, tetapi juga akhlak mulia. Penguatan pola pikir (akidah) dan pola sikap (syaksyiah) Islami adalah dasar penilaian hidup yang akan menentukan halal-haram, pahala-dosa, bukan untung-rugi maupun kaya-miskin. Keluarga adalah benteng terakhir kaum muslimin, karena itu diperlukan revitalisasi peran keluarga sebagai madrosatul ulla yang pertama dan utama guna menanamkan nilai-nilai keimanan dalam keluarga.
Bergabung dengan komunitas yang mangajak kepada amar ma’ruf nahi mungkar demi terwujudnya generasi dambaan umat yang mendukung pertumbuhan spiritual, emosional dan karakter dalam bimbingan musrifah serta penjagaan penerapan syariah dalam kehidupan sehari-hari di bawah naungan Khilafah Islamiah.


0Komentar