GUr8TUW5BUW5TUC0TSz5GUY6

Headline:

Realitas Pahitnya Pembangunan di Indonesia, khususnya Proyek Jembatan Batam–Bintan

Realitas Pahitnya Pembangunan di Indonesia, khususnya Proyek Jembatan Batam–Bintan

Oleh: Adelia
(Aktivis Muslimah Kepulauan Riau)

Proyek jembatan Batam-Bintan yang hingga kini belum juga terealisasi meski telah dijanjikan selama bertahun-tahun. Proyek yang digadang-gadang mampu menghubungkan dua wilayah strategis di Kepulauan Riau ini justru terhambat oleh masalah pendanaan, tarik-menarik kepentingan politik, serta ketergantungan pada investor. 

Proyek Jembatan Batam-Bintan telah lama digadang-gadang sebagai proyek strategis nasional untuk menghubungkan dua pulau penting di Kepulauan Riau. Pembangunan jembatan ini telah direncanakan sejak tahun 2000-an, namun hingga kini belum terealisasi. Jembatan ini rencananya akan menghubungkan Pulau Batam dan Pulau Bintan dengan panjang sekitar 7 kilometer dan biaya sekitar Rp14 triliun. Pemerintah sudah beberapa kali melakukan studi kelayakan, peletakan batu pertama, hingga pembicaraan investasi, tetapi progres di lapangan nyaris belum ada. 

Salah satu penyebab utama adalah masalah pendanaan, tarik ulur kepentingan investor, dan perubahan prioritas proyek nasional. Sementara itu, rakyat di daerah pelosok masih kesulitan mengakses jalan, pendidikan, dan layanan kesehatan yang layak.
Kondisi ini menunjukkan ketimpangan pembangunan antara proyek besar dan kebutuhan dasar rakyat.

Proyek Jembatan Batam–Bintan yang tak kunjung terealisasi menunjukkan wajah asli sistem kapitalis yang menempatkan kepentingan ekonomi dan politik di atas kesejahteraan rakyat. Dalam sistem ini, pembangunan sering kali hanya diarahkan untuk menciptakan citra kemajuan, bukan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara nyata.

Proyek besar yang bernilai triliunan dianggap sebagai simbol keberhasilan negara, padahal manfaatnya jarang benar-benar dirasakan oleh rakyat kecil.

Sistem kapitalisme menjadikan pembangunan sebagai ajang perebutan kepentingan antara penguasa dan pemilik modal. Negara cenderung bergantung pada investasi asing atau swasta, sehingga keputusan pembangunan lebih dikendalikan oleh siapa yang memiliki uang, bukan oleh kebutuhan rakyat. Akibatnya, proyek seperti Jembatan Batam–Bintan terus tertunda karena tarik-menarik kepentingan dan minimnya kepedulian terhadap kesejahteraan masyarakat di wilayah lain yang justru lebih membutuhkan infrastruktur dasar.

Kapitalisme juga menciptakan ketimpangan ekonomi yang tajam. Sumber daya negeri dikuasai oleh segelintir pihak, sementara rakyat harus berjuang sendiri menghadapi sulitnya akses pendidikan, kesehatan, dan jalan yang layak. Pembangunan tidak lagi menjadi sarana pemerataan, tetapi alat untuk menumpuk kekayaan di tangan segelintir elit.

Dalam pandangan Islam, pembangunan bukan sekadar proyek ekonomi atau politik, melainkan amanah besar dari Allah Swt. yang harus dijalankan untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat. Islam memandang bahwa kemajuan suatu negeri bukan diukur dari megahnya infrastruktur, tetapi dari sejauh mana kesejahteraan rakyatnya terjamin dan hak-hak dasarnya terpenuhi tanpa diskriminasi.

Negara dalam sistem Islam memiliki fungsi utama sebagai pengurus urusan rakyat (ri’ayatu syu’unil ummah), bukan sekadar regulator atau fasilitator bagi kepentingan investor. Oleh karena itu, pembangunan seperti jembatan, jalan, dan fasilitas publik menjadi kewajiban langsung negara, bukan dibebankan kepada swasta atau asing. Dalam sistem ini, Baitul Mal berperan sebagai lembaga keuangan negara yang menyalurkan dana dari berbagai sumber syariat, seperti zakat, kharaj, jizyah, ghanimah, fa’i, dan hasil pengelolaan sumber daya alam milik umum seperti tambang, laut, dan hutan.

Pembangunan juga tidak dilakukan demi pencitraan atau kepentingan politik, tetapi semata-mata untuk kemaslahatan seluruh umat. Rasulullah dan para khalifah setelahnya menunjukkan bahwa dalam sistem Islam, kebijakan pembangunan selalu memperhatikan pemerataan agar tidak ada wilayah yang tertinggal. Negara wajib memastikan akses yang sama terhadap jalan, air, pendidikan, dan layanan publik di setiap daerah.

Selain itu, Islam juga melarang keras praktik ketimpangan dan penumpukan kekayaan hanya pada segelintir orang. Sebagaimana firman Allah Swt. dalam Al-Qur’an:

“Agar harta itu jangann hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu."
(QS. Al-Hasyr: 7)

Ayat ini menegaskan bahwa distribusi kekayaan dan manfaat pembangunan harus merata. Dalam Islam, pembangunan tidak boleh hanya menguntungkan kelompok tertentu, melainkan harus menciptakan keseimbangan antara kebutuhan ekonomi, sosial, dan spiritual masyarakat.

Sistem ekonomi Islam menolak riba, monopoli, dan eksploitasi sumber daya oleh korporasi besar. Negara bertanggung jawab penuh terhadap sektor-sektor vital seperti energi, air, transportasi, dan kesehatan. Dengan begitu, pembangunan tidak lagi bergantung pada utang luar negeri atau investor asing, melainkan dikelola secara mandiri berdasarkan potensi negeri dan keadilan syariah.

Dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh (kaffah), pembangunan seperti proyek Jembatan Batam–Bintan akan dilaksanakan dengan prinsip efisiensi, pemerataan, dan tanggung jawab sosial, bukan sekadar mengejar keuntungan politik. Masyarakat akan benar-benar merasakan hasil pembangunan, dan setiap wilayah akan memperoleh fasilitas sesuai kebutuhannya tanpa kesenjangan.

Kasus proyek Jembatan Batam–Bintan menggambarkan bagaimana pembangunan di Indonesia masih terjebak dalam pola sistem kapitalisme, di mana kepentingan ekonomi dan politik sering kali lebih diutamakan daripada kesejahteraan rakyat. Proyek besar yang seharusnya membawa manfaat nyata justru menjadi simbol ketimpangan dan ketergantungan terhadap investor. Akibatnya, pembangunan berjalan lambat dan tidak merata, sementara kebutuhan dasar masyarakat di daerah lain masih terbengkalai.

Dalam perspektif Islam, pembangunan seharusnya menjadi sarana untuk menegakkan keadilan dan kemaslahatan umat, bukan alat untuk memperkaya segelintir pihak. Negara berkewajiban mengurus urusan rakyat secara langsung dan memastikan setiap warga memperoleh haknya atas infrastruktur, pendidikan, dan layanan publik.

Islam menolak praktik pembangunan yang berorientasi pada keuntungan semata. Sebaliknya, Islam menekankan prinsip pemerataan, keadilan sosial, dan tanggung jawab negara dalam memenuhi kebutuhan rakyat tanpa ketergantungan pada pihak asing. Dengan penerapan sistem Islam yang kafah, pembangunan akan dijalankan secara adil, jujur, dan merata demi terciptanya kesejahteraan bagi seluruh umat.

Sehingga, proyek seperti Jembatan Batam–Bintan tidak akan berhenti pada janji dan rencana, melainkan benar-benar terwujud sebagai bentuk nyata kepedulian negara terhadap rakyatnya—bukan demi citra, tetapi demi kesejahteraan dan keadilan yang dirasakan oleh semua lapisan masyarakat. Wallahu 'alam bisshowab.
Daftar Isi

0Komentar

Follow Pasang Iklan
Follow Pasang Iklan
D

disclaimer: Bumigurindambersyariah.com memberikan ruang bagi para penulis untuk berbagi karya tulisan yang khas memenangkan opini Islam serta memihak kepada kaum Muslim.

Tulisan yang dikirim tidak boleh sesuatu yang hoaks, hujatan, ujaran kebencian, pornografi dan pornoaksi, SARA, dan menghina kepercayaan/agama/etnisitas pihak lain.

Pertanggungjawaban semua konten yang dikirim sepenuhnya ada pada pengirim tulisan/penulis, bukan Bumigurindambersyariah.com. Silakan mengirimkan tulisan Anda melalui link ini kirim Tulisan

KLIK

Support Dakwah Bumigurindambersyariah.com

Donasi akan mendanai biaya perpanjangan domain dan aktivitas dakwahnya.

Formulir
Tautan berhasil disalin