Oleh: Hesti Nur Laili, S.Psi
(Aktivis Muslimah Kepulauan Riau)
Konser girlband asal Korea Selatan, Blackpink, yang digelar di Stadion Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta pada 1 dan 2 November 2025 lalu berlangsung sangat meriah. Penampilan memukau Lisa, Jisoo, Rosé, dan Jennie berhasil membuat para penggemar (fandom) memberikan pujian tanpa henti. Bahkan sebelum hari konser, tiket kategori termahal dengan harga sekitar empat juta rupiah ludes hanya dalam waktu enam jam. (Tempo.co, 4-11-2025).
Menariknya, euforia konser tidak hanya dirasakan oleh mereka yang memiliki tiket. Banyak penggemar dari berbagai kota tetap datang ke GBK meski tidak dapat masuk ke area konser. Mereka memadati area sekitar stadion hanya untuk bisa mendengar suara musik, melihat layar dari kejauhan, atau sekadar merasakan atmosfer keramaian bersama sesama penggemar. (Rctiplus.com, 1-11-2025).
Tidak berhenti sampai di situ, para penggemar yang hadir juga seperti berlomba menunjukkan identitas mereka sebagai Blink. Banyak di antara mereka berdandan dan mengenakan outfit yang terinspirasi dari gaya Blackpink. Seolah ingin menunjukkan seberapa besar kekaguman yang mereka miliki terhadap idola mereka.
Namun, di balik kemeriahan tersebut, ada satu fenomena yang perlu direnungkan. Sebagian besar dari ribuan penggemar yang hadir adalah muslim, dengan identitas agama yang semestinya menempatkan Rasulullah sebagai teladan utama dalam kehidupan. Sebagai idola yang patut lebih dalam untuk ditiru dan diperjuangkan.
Akan tetapi, pada momen itu, yang menjadi pusat perhatian, waktu, tenaga, pengorbanan, bahkan pengeluaran mereka bukan lagi dinisbatkan pada nilai-nilai keimanan, melainkan figur selebriti yang tidak mengenal mereka secara pribadi. Fenomena ini menunjukkan bahwa kecintaan dan kekaguman bisa berpindah arah ketika hati tidak lagi menjadikan Rasulullah sebagai idola yang sesungguhnya.
Hal inilah yang membuat hati miris. Banyak pemuda muslim hari ini mengalami pergeseran dalam hal meneladani dan mengidolakan seseorang. Rasulullah ﷺ hanya menjadi nama yang dihafal saat pelajaran agama, tetapi tidak benar-benar dihayati sebagai teladan kehidupan. Di sisi lain, mereka jauh lebih mengagumi para artis yang tidak mengenal Allah, memperlihatkan aurat, dan menampilkan gaya hidup yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Kekaguman itu bahkan diwujudkan dengan meniru penampilan dan gaya hidup mereka, tanpa mempertimbangkan apakah hal itu mendekatkan atau justru menjauhkan dari ketaatan kepada Allah.
Inilah yang terjadi hari ini, bahwa generasi muda kita sekarang sedang mengalami krisis idola yang mengkhawatirkan. Mereka tidak lagi memahami bagaimana berislam dengan benar, dan lebih memilih meniru gaya hidup tokoh-tokoh yang bahkan tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam.
Krisis idola ini tidak muncul begitu saja. Ia tumbuh dari sistem kehidupan yang sedang diterapkan saat ini, yakni sistem sekuler-kapitalisme. Sistem yang memisahkan agama dari kehidupan ini membuat islam hanya dijadikan sebagai urusan pribadi, ritual, atau pelajaran di sekolah. Sementara standar hidup, standar sukses, hingga standar kebahagiaan diatur oleh budaya populer dan industri hiburan.
Media sosial, musik, film, dan influencer bekerja sama membentuk persepsi bahwa nilai seseorang diukur dari penampilan, kesenangan, popularitas, dan materi. Sehingga, generasi muda diarahkan untuk mengidolakan figur-figur dunia hiburan yang dianggap “bebas” dan “keren,” meskipun gaya hidup mereka jauh dari syariat.
Di sisi lain, sistem kapitalisme menjadikan manusia bukan hanya konsumen, tetapi objek pasar. Idol dunia hiburan diproduksi sebagai komoditas. Penampilan, gaya berpakaian, konser, merchandise, yang semua itu menjadi alat untuk mendulang keuntungan. Akibatnya, para idola dikemas sedemikian rupa agar memikat, membuat fans rela mengikuti bahkan mengorbankan harta, waktu, dan perhatian.
Kekaguman itu dimanfaatkan untuk mengontrol pola pikir dan gaya hidup masyarakat. Inilah bentuk penghambaan modern yang tanpa disadari. Umat diarahkan untuk menjadikan manusia biasa sebagai “standar hidup” mereka.
Dari sisi masyarakat, dampaknya tidak sederhana. Ketika gaya berpakaian mini dan joget ala girlband terus ditampilkan dan dianggap wajar, lambat laun standar kesopanan juga akan bergeser. Sesuatu yang sebelumnya dianggap tabu menjadi normal, bahkan dianggap sebagai bentuk kebebasan berekspresi. Normalisasi ini mengikis rasa malu (al-hayaa’), padahal rasa malu adalah benteng akhlak dalam Islam. Saat rasa malu hilang, masyarakat menjadi lebih permisif terhadap gaya hidup yang bertentangan dengan syariat.
Selain itu, model pakaian mini dan menonjolkan tubuh memiliki risiko sosial yang nyata. Ia dapat mengundang kejahatan seksual, yang tak hanya salah dari pihak perempuannya saja karena berpakaian mini, tetapi penyebab utamanya adalah sistem yang membentuk pola pikir bahwa tampil seksi dan menonjolkan aurat atau mengundang hasrat laki-laki itu bukan sesuatu yang salah. Dan hal ini ditambah dengan lemahnya kontrol masyarakat yang menormalisasi hal itu.
Lantas bagaimana jika sistem Islam diterapkan?
Berbeda dengan sekuler-kapitalisme, sistem Islam menempatkan Allah dan Rasulullah sebagai pusat kehidupan. Islam tidak hanya mengatur ibadah ritual, tetapi juga pendidikan, budaya, pergaulan, dan standar moral masyarakat. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab membangun kepribadian Islami pada rakyatnya melalui pendidikan, media, dan lingkungan sosial. Figur yang ditampilkan kepada publik adalah figur yang menjaga kehormatan dan akhlak, bukan yang memperdagangkan tubuh dan sensualitas.
Dalam peradaban Islam, mencintai Rasulullah bukan sekadar hafalan atau simbol, tetapi diwujudkan dalam ketaatan, dalam menjadikan beliau teladan utama dalam berpikir dan bertindak. Sehingga, generasi tumbuh dengan kebanggaan sebagai muslim, bukan menjadi konsumen budaya asing yang merusak kepribadian.
Penutup:
Karena itu, krisis idola yang kita lihat hari ini bukan masalah sepele. Ia bukan sekadar soal konser, musik, atau hiburan, tetapi tentang arah hidup, tentang siapa yang kita jadikan pusat cinta dan teladan. Selama sistem sekuler-kapitalisme terus menjadi fondasi kehidupan, maka generasi muslim akan terus diarahkan menjauh dari identitasnya sendiri. Oleh karenanya, sudah saatnya umat kembali menjadikan Rasulullah sebagai idola sejati, bukan hanya di lisan, tetapi di hati, pikiran, dan perbuatan.***


0Komentar