Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Sejarah Toleransi
Istilah toleransi lahir dalam konteks sejarah peradaban Barat, akibat perang-perang agama antara penganut Katholik di bawah kepemimpinan Paus, dengan para penentang agama Katholik, utamanya adalah kaum Protestan.
Perang agama antara Katholik dan Protestan tersebut paling sering terjadi pada abad ke-16 dan ke-17 M, yang dimulai setelah Reformasi Protestan (1517). Contoh konflik antar agama Katolik dan Protestan tersebut misalnya Perang Agama Prancis (1562–1598) dan mencapai puncaknya dalam perang paling dahsyat seperti Perang 30 Tahun (1618–1648) di Kekaisaran Romawi Suci, yang melibatkan hampir seluruh kekuatan Eropa dengan alasan agama dan politik.
Perang Tiga Puluh Tahun (1618-1648) tersebut diakhiri oleh serangkaian perjanjian damai yang dikenal sebagai Perjanjian Westphalia (Peace of Westphalia), yang ditandatangani pada tahun 1648 di kota-kota Osnabrück dan Münster di wilayah Westphalia, Jerman. Perjanjian ini tidak hanya mengakhiri konflik besar di Eropa antara Katholik dan Protestan, tetapi juga meletakkan dasar bagi gagasan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) dan gagasan toleransi agama.
Namun demikian, sebelum abad ke-16 M itu, sebenarnya sudah ada akar-akar konflik antara Katholik dan Protestan. Penganut Katholik sebelum abad ke-16 M sudah mempunyai Mahkamah Inkuisisi, yakni institusi resmi Gereja Katholik untuk mengusut dan menyiksa setiap orang Kristen yang dianggap bidat (menyimpang, Ing: heresy) dari ajaran resmi Gereja Katholik.
Mahkamah Inkuisisi ini pertama kali didirikan oleh Paus Gregorius IX di masa Raja Perancis bernama Louis IX pada tahun 1123 M. Kemudian Paus Innocensius IV pada tahun 1252 mengukuhkan Mahkamah Inkuisisi tersebut dengan memberinya hak melakukan Religious Persecution, atau persekusi agama, (Arab : اَلإضْطِهَادُ الدِّيْنِيِّ, al-idhthihād al-dīnī).
Salah satu contoh konflik berdarah antara Gereja Katholik dengan kaum Protestan, adalah peristiwa Pembantaian Hari Santo Bartolomeus, yang terjadi di Perancis mulai tanggal 23-24 Agustus tahun 1572 hingga beberapa minggu sesudahnya. Jumlah korban yang meninggal (dari kalangan Protestan) hitungannya bervariasi dari 5.000 hingga 30.000 orang.
Peristiwa ini intinya adalah pembunuhan yang dilakukan oleh kaum Katholik (diwakili Raja Charles IX) terhadap kaum Kristen Protestan (disebut kelompok Huguenot). Pemicunya adalah pernikahan Margaret (penganut Katholik), saudari Raja Charles IX, yang menikah dengan Raja Henri III (penganut Protestan) dari Navarra (wilayah Spanyol sebagai basis masyarakat Protestan) pada tanggal 18 Agustus 1572.
Kondisi konflik-konflik berdarah dan bahkan perang antara penganut Katholik Roma dengan Kristen Protestan di Eropa seperti itulah, akhirnya menimbulkan dua kubu dalam masyarakat Eropa pada abad ke-17 Masehi, yaitu;
Pertama, satu kubu yang menganggap sangat sulit menyatukan kembali agama Katholik dan agama Protestan, dan mengusulkan ada “Gereja Universal” dengan ajaran-ajaran Kristiani mendasar yang disepakati bersama antara Katholik dan Protestan, namun membiarkan perbedaan-perbedaan dalam ajaran cabang Kristiani.
Kedua, pihak ini menolak usulan “Gereja Universal” dan menyerukan apa yang disebut toleransi. Pendapat pihak kedua mendapat kedudukan yang kuat pada akhir abad ke-17 Masehi di Eropa. Inilah asal usul sejarah kemunculan istilah toleransi. (Muhammad Ahmad Mufti, Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī, hlm. 17).
Berdasarkan penjelasan sejarah di atas, jelaslah bahwa konsep toleransi itu asal-usulnya bukan dari masyarakat Islam, melainkan muncul di Masyarakat Eropa yang Kristen, khususnya ketika terjadi konflik atau perang agama antara penganut agama Katholik dan penganut kaum Protestan.
Bersambung...


0Komentar