(BAGIAN 3) TOLERANSI ISLAMI VS TOLERANSI LIBERAL :
MENGKRITIK PERAYAAN NATAL BERSAMA KEMENAG
Oleh : KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Tiga Ide Dasar Toleransi Liberal
Prof. Muhammad Ahmad Mufti, dalam kitabnya Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī (halaman 15-41), menjelaskan bahwa konsep toleransi liberal berkembang di Eropa pasca abad ke-17 Masehi tersebut, didasarkan pada 3 (tiga) gagasan dasar dari Barat, yaitu; (1) sekularisme (al-‘ilmāniyyah / fashluddīn ‘an al-hayāh); (2) relativisme (al-nisbiyyah), dan (3) pluralisme (al-ta’addudiyyah). Rinciannya sebagai berikut;
Pertama, sekularisme (al-‘ilmāniyyah / fashluddīn ‘an al-hayāh), yaitu konsep pemisahan agama dari kehidupan, yang secara otomatis atau alamiah, akan menghasilkan pemisahan agama dari negara atau pemerintahan (fashluddin ‘an al-dawlah).
Konsep sekularisme ini menjadi tuntutan yang rasional di Eropa karena ketika terjadi penyatuan antara negara dan agama (Katholik) dalam sebuah religious regime (pemerintahan agama) sebagaimana dalam Sejarah Eropa, dalam wujud pemerintahan kerajaan (monarki) yang didukung oleh Gereja Katholik seperti yang terjadi di Perancis abad ke-16, ternyata menjadi sumber konflik antara penganut agama Katholik dan Protestan yang mengerikan. Terbukti puluhan ribu manusia tewas karena perang agama antara penganut Katholik dan penganut Protestan.
Kedua, relativisme (al-nisbiyyah), yaitu konsep bahwa pandangan filosofis yang menyatakan bahwa kebenaran, pengetahuan, moralitas, atau penilaian itu tidaklah bersifat absolut, melainkan relatif dalam arti bergantung pada individu, budaya, konteks historis, atau kerangka acuan tertentu. Artinya, apa yang dianggap benar atau salah bisa berbeda-beda tergantung perspektifnya, tanpa ada standar tunggal yang berlaku universal.
Jadi, berdasarkan paham relativisme itu, kebenaran agama-agama itu bersifat relatif, bukan absolut. Agama Katholik, agama Protestan, agama Islam, dan semua agama kebenarannya dinilai bersifat relatif, tidak mutlak.
Maka berdasar paham relativisme ini, tidak dibenarkan orang mengeluarkan klaim kebenaran (truth claim) untuk suatu agama, dengan mengatakan misalnya, "Agama saya saja yang benar, agama kamu salah.” Konsep relativisme ini menjadi keharusan agar seorang penganut agama tidak fanatik, karena fanatisme agama inilah yang menurut orang Eropa menjadi pemicu adanya konflik atau perang antar agama.
Ketiga, pluralisme (al-ta’addudiyyah), yaitu konsep bahwa masyarakat yang plural (heterogen) dengan berbagai identitasnya, haruslah mendapat hak yang sama tanpa ada diskriminasi. Jadi masyarakat yang plural dengan identitas etnis (suku) yang berbeda-beda, atau dengan identitas warna kulit yang berbeda-beda, atau juga identitas agama yang berbeda-beda, ada yang Katholik, ada yang Protestan, dsb, di dalam satu masyarakat, harus mempunyai hak yang sama tanpa diskriminasi antara yang satu dengan yang lainnya.
Konsep pluralisme ini menurut penggagasnya hanya dapat diwujudkan dalam sistem demokrasi, sehingga istilah yang sering disebut adalah pluralisme-demokrasi (al-ta’addudiyyah al-dimuqrathiyyah). Inilah tiga unsur gagasan dasar Toleransi Liberal sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Muhammad Ahmad Mufti, dalam kitabnya Naqd Al-Tasāmuh Al-Librālī (hlm. 15-41).
Bersambung...


0Komentar